Kamis, 27 Desember 2012

Novel : Cinta Di Dalam Gelas 1

Cinta Di Dalam Gelas



Mozaik 1
Purnama Kedua Belas

SEPERTI dugaanku, jika hujan pertama jatuh tepat pada 23 Oktober, ia masih akan berinai- rinai sampai Maret tahun berikutnya. Rinainya akan pudar menjelang pukul tiga sore bersama redupnya alunan azan asar. Setelah itu, matahari kembali merekah.
Cahaya Tuhan, sebagian orang menyebutnya, yakni semburat sinar dari langit yang menerobos celah awan-gemawan, tembus sampai ke bumi berupa batang-batang cahaya, sering tampak pada sore nan megah itu. Jika ia menghantam ombak, bahkan angin tak berani mendekat. Samudra mendidih.
Yang kumaksud dengan sebagian orang itu adalah para seniman-pelukis atau mereka yang jatuh hati pada fotografi, dengan mata yang mampu melihat alam sebagai sebuah karya seni.
Pukul empat sore, tampak matahari perlahan melintas untuk menyelesaikan sisa edarnya di langit bagian barat. Sejurus kemudian biru. Biru merajai angkasa. Suatu warna yang tak hanya dapat dipandang, tapi seakan dapat ditangkap, dapat dirasakan; lembut, menyelinap ke dalam dada. Hanya sekejap, tak lebih dari dua menit, lalu matahari menghamburkan lagi warna jingga yang bergelora.
Blue moment begitu sebutan para seniman tadi untuk dua menit nan memukau itu. Mereka cepat-cepat mengemasi kanvas, dudukan kamera, atau sekadar melamun, untuk menyergap moment itu. Seratus dua puluh detik nan ajaib, angkasa yang biru membuat seluruh alam berwarna biru. Batu-batu menjadi biru. Pohon kelapa menjadi biru, perahu, jalan setapak, ilalang, gulma, burung-burung pipit semuanya membiru. Bahkan angin menjadi biru. Para seniman itu terlempar ke dalam surga di dalam kepala mereka sendiri. Konon, ujar cerdik cendikia, sangat sedikit tempat di muka bumi ini yang memiliki blue moment. Namun, ia sering hadir di pantai-pantai indah di pulau kecil kami—Belitong, di penghujung musim hujan, kalau sedang beruntung. Setelah itu, abang sang sore: senja, datang dengan diam-diam,
berjingkat-jingkat, mengendap-endap.

 Gelap pun hinggap, tapi tak lama. Menjelang pukul sepuluh malam, purnama kedua belas yang belum sempurna mengintip-intip. Sebentar kemudian, langit kembali cerah. Rasi belantik dapat dipandang dengan mudah.
Pukul dua belas malam, orang-orang suku bersarung keluar rumah. Di pekarangan, mereka berkumpul membentuk lingkaran dan menggumamkan mantra-mantra untuk menghormati purnama yang dahulu kala pernah mereka sembah sebagai Tuhan, dan sekarang masih mereka hormati sebagai penjaga setia pasang-surut laut. Mantra mendayu menjadi lagu, lalu lagu tergubah menjadi rayu.
Orang-orang sawang bertolak naik perahu, menyerbu terumbu-terumbu, berkejar- kejaran dengan ombak yang tak melawan dan angin yang berkawan.
Orang-orang Tionghoa, tanpa banyak cincong, buka bakiak, tiup lampu minyak, naik ke dipan, cincai. Mereka telah bertamasya ke pulau kasur sejak pukul delapan tadi kar ena esok subuh harus cepat bangun untuk kembali bekerja keras.
Orang-orang Melayu, tengah malam buta itu, menghempaskan gelas kopinya yang terakhir di atas meja warung, lalu pulang beramai-ramai naik sepeda, masih saja ngomel- ngomel pada pemerintah.

Tak terasa dua musim telah lewat sejak aku membatalkan diri untuk merantau ke Jakarta karena rasa cinta, yang dengan malu-malu harus kuakui—tak terbendung—pada seorang perempuan Tionghoa bernama A Ling.
Sering kulamunkan, bagaimana aku, seorang anak Melayu udik dari keluarga Islam puritan, bisa jatuh cinta pada perempuan Tionghoa dari keluarga Konghucu sejati itu. Ia tentu memiliki semua hak untuk menempatkan dirinya dalam pikiran yang sama seperti pikiranku barusan. Namun, Kawan, seandainya kita bisa tahu dengan siapa kita akan berjumpa lalu jatuh cinta seperti tak ada lagi hari esok, maka beruk bisa melamar pekerjaan menjadi ajudan bupati.
Dalam pada itu, hari ini, kudapati diriku masih duduk di sini, sebagai pelayan W arung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, yang tak lain punya pamanku sendiri. Kulihat masa depanku terbentang beriak-riak bak arus Sungai Linggang sejauh mata memandang melalui jendela warung kopi ini. Di balik batas mata memandang itu adalah Jakarta, dan di sana masa depan masih misterius bagiku.
Kawan tentu tak lupa bahwa dulu aku terpelencat ke dalam pekerjaan ini sebagai bagian dari perjanjian tak tertulis dan ujung gerutuan panjang ibuku, yang tak habis -habis serinya macam sinetron, yang pada pokoknya, secara blak-blakan, tak sudi menerimaku berada di
kampung dalam keadaan menganggur, meski hanya sehari saja. Tak sudi.

  “Lelaki muda, sehat walafiat, terang pikiran, dan punya ijazah, tidak bekerja?
Sepatutnya disiram dengan kopi panas!” begitu ancaman terakhir Ibu.
Maka, dengan perasaan terpaksa, aku berangkat kerja pagi-pagi. Melalui jendela, sambil mengunyah sirih, Ibu menatap setiap langkahku. Tatapannya adalah mata belati yang menikam pinggangku. Efek tatapan itu kadang kala masih marak sampai sore dan hanya bisa kuredakan dengan menenggak dua butir pil pening kepala.
Sampai di warung kopi, aku disongsong oleh omelan pamanku, yang sangat tidak suka pada pemerintah, yang menganggap masyarakat semakin amoral, dan yang karena suatu penyakit kandung kemih yang aneh membuatnya tak bisa menampilkan suatu performa pada tingkat paling minimal sekalipun. Dengan menyebut lokasi penyakit itu, Kawan tentu mafhum maksudku dengan performa tadi. Akulah yang kemudian menjadi tempatnya menumpahkan semua kegagalan politikal, sosial, dan personalnya itu. Terlalu tak tahu adatkah aku ini jika
yang terakhir tadi—personal itu—kutulis seksual saja?
Keadaan semakin tak menyenangkan, yaitu barangkali karena kekecewaannya pada diri sendiri, lambat laun Paman menjadi orang yang gamang. Paranoid, kata orang Jakarta. Mungkin kurang tepat istilah itu, tapi apalah peduliku. Jadilah ia selalu menuntut untuk diyakinkan. Hal itu kemudian menjadi bagian paling sarkastik dalam omelannya.
“Kaudengarkan apa yang kubicarakan ini, Boi?” begitu selang beberapa waktu jika ia menyemprotku. Ia harus mendapat jawaban yang meyakinkan, tak cukup dengan anggukan saja, bahwa aku mendengar setiap sampah dari mulutnya yang ia lontarkan sekehendak
hatinya itu. Kalau tidak, ia akan terus ngomel seakan ada peternakan omelan di dalam mulutnya.
“Kudengar, Pamanda, kudengar,” jawabku sambil melenggang pembawa puluhan
gelas kopi di atas nampan. Dalam keadaan semacam itu, sering aku berhenti sejenak dan menengok ke atas: Wahai Tuhan yang sedang duduk di singgasana langit ketujuh, inikah kehidupan yang KAU-berikan padaku?
Namun, pada saat tertentu yang tak dapat diramalkan, Paman tiba-tiba bisa menjadi sangat lembut. Suaranya lemah dan puja-pujinya melambung bahwa seumur hidupnya ia tak pernah melihat seorang pria yang begitu halus perangainya dan begitu rajin bekerja sepertiku. Tanpa alasan yang masuk akal, ia bahkan sering menyebutku tampan dan bertubuh atletis. Bahwa sorot mataku lendut dan bulu mataku lentik seperti boneka dari India. Lantas, selorohnya, sejak aku mengabdi padanya—pelanggan warung kami semakin banyak. Reputasi warungnya semakin harum. Ditepuk-tepuknya pundakku dengan penuh kasih sayang, lebih sayang dari anaknya sendiri. Lalu ia berbalik, melihat meja-meja kopi, dan berbalik lagi.
“Bujang! Tidakkah kau tengok gelas kotor itu? Cuci sana. Dasar pemalas! Tak berguna
sama sekali!”

 Pelajaran moral nomor 20: persoalan syahwat adalah asal muasal penyakit jiwa kepribadian ganda.
Namun, semua penderitaan itu terbayarkan jika aku mengingatkan diriku sendiri bahwa semua kesusahan jiwa dan raga itu, dari pagi sampai petang itu, adalah demi ketenteraman hati ibuku dan lebih indah lagi, demi masa depanku dengan A Ling.
Ah, jika aku terkenang akan perempuan Tionghoa itu, akan senyumnya ketika melihat, aku merasa ganteng dan tinggi. Jika terkenang akan kuku-kukunya yang menawan, akan caranya mengucapkan huruf R, serta satu kemungkinan pada suatu hari kelak, ia berjumpa dengan teman-teman lamanya di sekolah nasional dulu dan berkatalah dia.
“Aih, maaf. Saking asyik ngobrol, sampai aku lupa. Ini suamiku, Ikal.”
Aku merasa sayap tumbuh di bawah kedua ketiakku, dan aku bersyukur pada Yang Mahatinggi untuk menciptakan huruf R dalam sebaris kalimat perkenalan yang penuh pesona itu.
Saban sore, aku melihat A Ling berdiri di samping sepedanya, di depan warung kami, menungguku pulang kerja. Matahari sore yang kuning menerpa wajahnya. Sebuah kecantikan yang tak dapat dibatalkan. Ia menunggu dengan tak sabar, sesekali ia mendengus dengan ketus, dan aku mendapat alasan mengapa aku dilahirkan ke muka bumi ini sebagai orang Melayu, meski udik sekalipun, biarlah, suka-suka Tuhanlah. Karena semua itu—paras kuku, huruf R, dan perkenalan itu—lebih dari cukup bagiku untuk menahankan penindasan habis- habisan dari pamanku. A Ling sendiri bekerja di toko Zinar. Kami sepakat menabung sedikit demi sedikit untuk mempersiapkan keberangkatan kami ke Jakarta dan menyongsong masa
depan nan gilang-gemilang. Oh, sungguh mengharukan.

Cukup sampai di sini dulu ya bacanya sob kita sambung ke bagian 2 di karenakan terlalu banyak yg perlu di ketik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari budayakan komentar yang positif dan mohon kebijaksanaannya untuk tidak melakukan spamming. Jangan menyertakan link di dalam komentar, karena akan terdeteksi sebagai spam oleh google Life for sharing...