Sabtu, 29 Desember 2012

Auto Followers Twitter ( Perbanyak followers mu sampai puluhan ribu )


neo-0000063.jpg

Asalamualaikum wr.wb .

Ada yg baru nicchhh ..
Auto Followers Twitter ..!!
Lumayan Yang Pengen Eksis Followers Ampe Puluhan Ribu .. Hahahah xD

Langsung aja Comot Disini script nya ..!!

Tutorial Udah Di Dalem nya gan ..!!

Follow juga Twitter ane @MusttourArch17 Ya gan

Jangan Lupa Juga Gabung di Fans Page FB Archmust Modding Hp ya ..!!

saya sudah mencoba ny dan sukses sob

sumber: 
Read More ->>

Kamis, 27 Desember 2012

Novel : Cinta Di Dalam Gelas 1

Cinta Di Dalam Gelas



Mozaik 1
Purnama Kedua Belas

SEPERTI dugaanku, jika hujan pertama jatuh tepat pada 23 Oktober, ia masih akan berinai- rinai sampai Maret tahun berikutnya. Rinainya akan pudar menjelang pukul tiga sore bersama redupnya alunan azan asar. Setelah itu, matahari kembali merekah.
Cahaya Tuhan, sebagian orang menyebutnya, yakni semburat sinar dari langit yang menerobos celah awan-gemawan, tembus sampai ke bumi berupa batang-batang cahaya, sering tampak pada sore nan megah itu. Jika ia menghantam ombak, bahkan angin tak berani mendekat. Samudra mendidih.
Yang kumaksud dengan sebagian orang itu adalah para seniman-pelukis atau mereka yang jatuh hati pada fotografi, dengan mata yang mampu melihat alam sebagai sebuah karya seni.
Pukul empat sore, tampak matahari perlahan melintas untuk menyelesaikan sisa edarnya di langit bagian barat. Sejurus kemudian biru. Biru merajai angkasa. Suatu warna yang tak hanya dapat dipandang, tapi seakan dapat ditangkap, dapat dirasakan; lembut, menyelinap ke dalam dada. Hanya sekejap, tak lebih dari dua menit, lalu matahari menghamburkan lagi warna jingga yang bergelora.
Blue moment begitu sebutan para seniman tadi untuk dua menit nan memukau itu. Mereka cepat-cepat mengemasi kanvas, dudukan kamera, atau sekadar melamun, untuk menyergap moment itu. Seratus dua puluh detik nan ajaib, angkasa yang biru membuat seluruh alam berwarna biru. Batu-batu menjadi biru. Pohon kelapa menjadi biru, perahu, jalan setapak, ilalang, gulma, burung-burung pipit semuanya membiru. Bahkan angin menjadi biru. Para seniman itu terlempar ke dalam surga di dalam kepala mereka sendiri. Konon, ujar cerdik cendikia, sangat sedikit tempat di muka bumi ini yang memiliki blue moment. Namun, ia sering hadir di pantai-pantai indah di pulau kecil kami—Belitong, di penghujung musim hujan, kalau sedang beruntung. Setelah itu, abang sang sore: senja, datang dengan diam-diam,
berjingkat-jingkat, mengendap-endap.

 Gelap pun hinggap, tapi tak lama. Menjelang pukul sepuluh malam, purnama kedua belas yang belum sempurna mengintip-intip. Sebentar kemudian, langit kembali cerah. Rasi belantik dapat dipandang dengan mudah.
Pukul dua belas malam, orang-orang suku bersarung keluar rumah. Di pekarangan, mereka berkumpul membentuk lingkaran dan menggumamkan mantra-mantra untuk menghormati purnama yang dahulu kala pernah mereka sembah sebagai Tuhan, dan sekarang masih mereka hormati sebagai penjaga setia pasang-surut laut. Mantra mendayu menjadi lagu, lalu lagu tergubah menjadi rayu.
Orang-orang sawang bertolak naik perahu, menyerbu terumbu-terumbu, berkejar- kejaran dengan ombak yang tak melawan dan angin yang berkawan.
Orang-orang Tionghoa, tanpa banyak cincong, buka bakiak, tiup lampu minyak, naik ke dipan, cincai. Mereka telah bertamasya ke pulau kasur sejak pukul delapan tadi kar ena esok subuh harus cepat bangun untuk kembali bekerja keras.
Orang-orang Melayu, tengah malam buta itu, menghempaskan gelas kopinya yang terakhir di atas meja warung, lalu pulang beramai-ramai naik sepeda, masih saja ngomel- ngomel pada pemerintah.

Tak terasa dua musim telah lewat sejak aku membatalkan diri untuk merantau ke Jakarta karena rasa cinta, yang dengan malu-malu harus kuakui—tak terbendung—pada seorang perempuan Tionghoa bernama A Ling.
Sering kulamunkan, bagaimana aku, seorang anak Melayu udik dari keluarga Islam puritan, bisa jatuh cinta pada perempuan Tionghoa dari keluarga Konghucu sejati itu. Ia tentu memiliki semua hak untuk menempatkan dirinya dalam pikiran yang sama seperti pikiranku barusan. Namun, Kawan, seandainya kita bisa tahu dengan siapa kita akan berjumpa lalu jatuh cinta seperti tak ada lagi hari esok, maka beruk bisa melamar pekerjaan menjadi ajudan bupati.
Dalam pada itu, hari ini, kudapati diriku masih duduk di sini, sebagai pelayan W arung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, yang tak lain punya pamanku sendiri. Kulihat masa depanku terbentang beriak-riak bak arus Sungai Linggang sejauh mata memandang melalui jendela warung kopi ini. Di balik batas mata memandang itu adalah Jakarta, dan di sana masa depan masih misterius bagiku.
Kawan tentu tak lupa bahwa dulu aku terpelencat ke dalam pekerjaan ini sebagai bagian dari perjanjian tak tertulis dan ujung gerutuan panjang ibuku, yang tak habis -habis serinya macam sinetron, yang pada pokoknya, secara blak-blakan, tak sudi menerimaku berada di
kampung dalam keadaan menganggur, meski hanya sehari saja. Tak sudi.

  “Lelaki muda, sehat walafiat, terang pikiran, dan punya ijazah, tidak bekerja?
Sepatutnya disiram dengan kopi panas!” begitu ancaman terakhir Ibu.
Maka, dengan perasaan terpaksa, aku berangkat kerja pagi-pagi. Melalui jendela, sambil mengunyah sirih, Ibu menatap setiap langkahku. Tatapannya adalah mata belati yang menikam pinggangku. Efek tatapan itu kadang kala masih marak sampai sore dan hanya bisa kuredakan dengan menenggak dua butir pil pening kepala.
Sampai di warung kopi, aku disongsong oleh omelan pamanku, yang sangat tidak suka pada pemerintah, yang menganggap masyarakat semakin amoral, dan yang karena suatu penyakit kandung kemih yang aneh membuatnya tak bisa menampilkan suatu performa pada tingkat paling minimal sekalipun. Dengan menyebut lokasi penyakit itu, Kawan tentu mafhum maksudku dengan performa tadi. Akulah yang kemudian menjadi tempatnya menumpahkan semua kegagalan politikal, sosial, dan personalnya itu. Terlalu tak tahu adatkah aku ini jika
yang terakhir tadi—personal itu—kutulis seksual saja?
Keadaan semakin tak menyenangkan, yaitu barangkali karena kekecewaannya pada diri sendiri, lambat laun Paman menjadi orang yang gamang. Paranoid, kata orang Jakarta. Mungkin kurang tepat istilah itu, tapi apalah peduliku. Jadilah ia selalu menuntut untuk diyakinkan. Hal itu kemudian menjadi bagian paling sarkastik dalam omelannya.
“Kaudengarkan apa yang kubicarakan ini, Boi?” begitu selang beberapa waktu jika ia menyemprotku. Ia harus mendapat jawaban yang meyakinkan, tak cukup dengan anggukan saja, bahwa aku mendengar setiap sampah dari mulutnya yang ia lontarkan sekehendak
hatinya itu. Kalau tidak, ia akan terus ngomel seakan ada peternakan omelan di dalam mulutnya.
“Kudengar, Pamanda, kudengar,” jawabku sambil melenggang pembawa puluhan
gelas kopi di atas nampan. Dalam keadaan semacam itu, sering aku berhenti sejenak dan menengok ke atas: Wahai Tuhan yang sedang duduk di singgasana langit ketujuh, inikah kehidupan yang KAU-berikan padaku?
Namun, pada saat tertentu yang tak dapat diramalkan, Paman tiba-tiba bisa menjadi sangat lembut. Suaranya lemah dan puja-pujinya melambung bahwa seumur hidupnya ia tak pernah melihat seorang pria yang begitu halus perangainya dan begitu rajin bekerja sepertiku. Tanpa alasan yang masuk akal, ia bahkan sering menyebutku tampan dan bertubuh atletis. Bahwa sorot mataku lendut dan bulu mataku lentik seperti boneka dari India. Lantas, selorohnya, sejak aku mengabdi padanya—pelanggan warung kami semakin banyak. Reputasi warungnya semakin harum. Ditepuk-tepuknya pundakku dengan penuh kasih sayang, lebih sayang dari anaknya sendiri. Lalu ia berbalik, melihat meja-meja kopi, dan berbalik lagi.
“Bujang! Tidakkah kau tengok gelas kotor itu? Cuci sana. Dasar pemalas! Tak berguna
sama sekali!”

 Pelajaran moral nomor 20: persoalan syahwat adalah asal muasal penyakit jiwa kepribadian ganda.
Namun, semua penderitaan itu terbayarkan jika aku mengingatkan diriku sendiri bahwa semua kesusahan jiwa dan raga itu, dari pagi sampai petang itu, adalah demi ketenteraman hati ibuku dan lebih indah lagi, demi masa depanku dengan A Ling.
Ah, jika aku terkenang akan perempuan Tionghoa itu, akan senyumnya ketika melihat, aku merasa ganteng dan tinggi. Jika terkenang akan kuku-kukunya yang menawan, akan caranya mengucapkan huruf R, serta satu kemungkinan pada suatu hari kelak, ia berjumpa dengan teman-teman lamanya di sekolah nasional dulu dan berkatalah dia.
“Aih, maaf. Saking asyik ngobrol, sampai aku lupa. Ini suamiku, Ikal.”
Aku merasa sayap tumbuh di bawah kedua ketiakku, dan aku bersyukur pada Yang Mahatinggi untuk menciptakan huruf R dalam sebaris kalimat perkenalan yang penuh pesona itu.
Saban sore, aku melihat A Ling berdiri di samping sepedanya, di depan warung kami, menungguku pulang kerja. Matahari sore yang kuning menerpa wajahnya. Sebuah kecantikan yang tak dapat dibatalkan. Ia menunggu dengan tak sabar, sesekali ia mendengus dengan ketus, dan aku mendapat alasan mengapa aku dilahirkan ke muka bumi ini sebagai orang Melayu, meski udik sekalipun, biarlah, suka-suka Tuhanlah. Karena semua itu—paras kuku, huruf R, dan perkenalan itu—lebih dari cukup bagiku untuk menahankan penindasan habis- habisan dari pamanku. A Ling sendiri bekerja di toko Zinar. Kami sepakat menabung sedikit demi sedikit untuk mempersiapkan keberangkatan kami ke Jakarta dan menyongsong masa
depan nan gilang-gemilang. Oh, sungguh mengharukan.

Cukup sampai di sini dulu ya bacanya sob kita sambung ke bagian 2 di karenakan terlalu banyak yg perlu di ketik.
Read More ->>

NOVEL REMAJA 2

NOVEL REMAJA 2

 

Jika komputer/laptop Anda belum di install pdf reader, silahkan download dulu Adobe Pdf reader gratis di sini adobe pdf reader.
Untuk membaca file berektensi djvu, silahkan download dulu program Windj view  download di sini
Untuk membaca file-file berektensi .prc, silahkan download dulu program pembacanya Mobireadersetup  download di sini
Note : jika teman-teman menemukan link yang error mohon kesediaannya melaporkan melalui form kontak atau  klik disini .
Menanggapi banyaknya permintaan dari pengunjung Download Novel Terbaru yang menginginkan novel-novel bertema remaja atau teenlit, kami terus berupaya untuk mendapatkan sebanyak mungkin novel-novel remaja atau novel teenlit tersebut dan menguploadnya di website ini.
Kali ini kami mengupload lagi sebagian dari koleksi kami yakni novel-novel remaja atau novel teenlit yang sudah bisa teman-teman download di halaman ini.

download novel remaja 2
Berikut beberapa diantaranya yang bisa teman-teman download novel remaja atau download novel teenlit sbb:
(Note: buat yang mau download, jangan lupa like Fanpage Download Novel dan share ke teman-teman FB kamu ya, biar kami tetap semangat untuk mengupload file-file yang lainnya yang jumlahnya masih ribuan buku lagi nih…thanks)

Update 27 November 2012
1. 5cm – Donny Dirgantoro    download di sini
2. 1st Love Never Die            download di sini
3. A Walk To Remember (bhs indo)               download di sini
4. Apa yaa?…Apa Hidup Ini Kan Lebih Baik Dari Mimpi                download di sini
5.  Batas Revolusi di 181                 download di sini
6. Cahaya Bintang                download di sini
7. Chicken Soup for The Couples Soul               download di sini
8. Cinta Buta Sang Penulis Muda                download di sini
9. Cinta Maya             download di sini
10. Dear Dylan                 download di sini
11. Dear Love                download di sini
12. Duka Lara              download di sini
13. Hidupmu Adalah Sirkusmu                download di sini
14. Ikro              download di sini
15. Jaka dan Dara             download di sini
16. Karunia Mutiara Cinta                 download di sini
17. Kau Tak Perlu Mencintaiku           download di sini
18. Kisah Dunia Paralel             download di sini
19. Merah Muda dan Biru             download di sini
20. Novel Revolusi              download di sini
21. Sayap Bidadari               download di sini
22. Siapa Ayahku                  download di sini
23. The True of My Life               download di sini
24. Topeng Kuning               download di sini


Read More ->>

Novel : Cinta Bukan Segalanya 5

 
Oleh : Nana Billa
BAB 5

“Cik Lea, saya bukan tak nak tolong tapi masalahnya kes ni memerlukan terlalu banyak masa.” Ujar Encik Rahidan perlahan. Aku tertunduk lama.
“Tapi Encik Rahidan, benda ini penting bagi saya. Saya tak kisah berapa banyak masa yang awak perlukan cuma apa yang saya mahu hanyalah maklumat dia.” Aku masih cuba untuk memujuk. Walau apa-apa pun yang terjadi, aku tekad untuk mencari maklumat terkini mengenai kak Zira. Aku rela menunggu di restoran berjam-jam lamanya hanya untuk menemui penyiasat ini.
Melalui maklumat yang aku terima, Encik Rohidan penyiasat yang professional dan terlalu memilih untuk menerima tugasannya. Oleh kerana itu, aku rela berkejar ke sana dan ke mari semata-mata untuk mengejar lelaki yang berumur lebih kurang separuh abad ini. Semua itu aku lakukan dengan harapan lelaki ini akan terbuka mata untuk memberikan pertolongan kepadaku. Walaupun tanpa keikhlasan, aku harap lelaki dewasa ini mampu menerima permintaanku meskipun hanya berteraskan simpati semata-mata.
“Cik Lea tak kisah kalau lambat sikit baru kamu dapat maklumat mengenai dia?” soal Encik Rahidan lagi. Kepalaku mula di dongak. Seakan menemui harapan.
Aku menggeleng kepala. “Saya tak kisah.” Walaupun kalau ikutkan, aku mahu mendapatkan maklumat mengenai kak Zira secepat yang mungkin.
“Kalau boleh saya tahu, siapa perempuan ini? Kenapa Cik Lea nak siasat mengenai dia dan seluruh keluarganya?” soal Encik Rohidan. Aku termangu. Tidak tahu jawapan yang sepertimana yang harus ku berikan.
Aku terdiam lama.
“Takpelah kalau Cik Lea tak nak jawab. Saya tahu mungkin soalan saya agak peribadi untuk Cik Lea jawab.” Kata-kata Encik Rohidan seakan memberikan aku satu kekuatan.
“Maafkan saya, Encik..” Encik Rohidan tersenyum mendengar kata maaf dariku.
“Panggil sahaja Pak cik, lagipun Cik Lea nampaknya seperti sebaya dengan anak saya.” Ujar Encik Rahidah ramah. Nampaknya aku tersalah anggap keperibadian lelaki ini. Orangnya juga nampak baik.
Aku tersenyum lantas mengangguk bersetuju.
“Kalau macam tu, pak cik panggil saja saya Lea.” Kali ini aku pula mula berbahasa.
“Err, memang ini aje ke maklumat yang Lea ada?” soal Encik Rohidan mula serius kepada maksud pertemuan kami. Dia merujuk kepada gambar yang kini dalam pegangannya. Aku mengangguk perlahan.
“Nama penuh?” soal Encik Rohidan lagi. Aku mengeluh berat.
“Saya tak ingat dan… mungkin juga saya tak tahu. Saya cuma ingat saya panggil dia kak Zira.” Jawabku jujur. Sememangnya itu sahaja maklumat yang aku ada mengenai kak Zira. Entah siapa keluarganya dan tempat asalnya sememangnya tidak berada dalam pengetahuanku.
“Pak cik bukan apa, cuma… gambar ini pun agak lama.” Aku tergelak kecil sedaya upaya menutup rasa bersalah apabila Encik Rohidan bersuara.
“Ya, ini gambar 15 tahun yang lalu. Maaf kalau saya menyusahkan Pak cik.” Ujarku. Encik Rohidan menangguk berkali-kali. Mungkin masih menimbangkan keputusan sama ada ingin menolongku ataupun tidak. Lagi pula ia melibatkan banyak masa dan berpandukan gambar dan nama samaran yang agak sukar sebenarnya untuk menyiasat, agakku.
“Hmm, baiklah. Pak cik boleh tolong Lea.” Jawapannya yang tidak ku sangka ternyata mengejutkan aku. Mataku bercahaya.
“Tapi… cuma satu nasihat pak cik. Jangan terlalu berharap.” Aku mengangguk berkali-kali. Ya, aku takkan meletakkan terlalu banyak harapan. Kesudiannya untuk menolongku sahaja sudah cukup menggembirakan aku.
____________________________________________________
Aku melangkah perlahan menaiki tangga. Tidak mahu sesiapa menyedari kepulanganku yang agak lewat pada malam ini. Selepas berjumpa dengan Encik Rohidan, aku membawa diri ke mana sahaja kakiku mampu melangkah. Sedar tak sedar masa juga semakin laju berlalu dan baru kini aku pulang padahal masa juga sudah menganjak ke angka 12.00. Kalaulah kepulanganku pada tengah malam ini berada dalam pengetahuan kedua ibu bapaku, mungkin persepsi mereka terhadapku mulai berubah. Aku hanya mampu berdoa.
“Lambat Lea balik.” ujar papa lantas membuatkan aku terkejut. Aku mengurut dada berkali-kali, masih lagi terkejut walaupun papa hanya menegur. Nampaknya hanya papa yang berada di ruang tamu.
Tangga yang ku daki akhirnya ku turuni kembali. Tak tergamak aku meninggalkan papa keseorangan. Mungkin mama sedang tidur nyenyak di bilik sehinggakan tidak sedar akan kehilangan papa. Tangan papa aku salam.
“Lea ada hal sikit tadi pa. Ingatkan nak balik terus tapi itulah… dah lama tak pusing bandar Shah Alam, melenconglah jawabnya.” Aku tersengih.
“Dah banyak berubah rupanya…” aku bersuara perlahan, merujuk kepada bandar Shah Alam yang kini terlalu banyak bangunan pencakar langit. Kerusi roda papa aku tolak menuju ke sofa sebelum aku melabuhkan punggung.
“Kesian Lea.” Papa meletakkan tangannya di atas tanganku. Intonasi papa membuatkan aku turut sebak.
“Isy, papa ni. Takde apalah. Lagipun Lea seronok jalan-jalan ni.” Ujarku cuba mengusir rasa sedih yang mula terasa. Aku tahu apa yang
cuba papa sampaikan.
“Kalau papa dan mama redha dengan semuanya lama dahulu, mungkin Lea takkan makan hati terlalu lama.” Papa masih lagi dalam mood ‘Bersamamu’. Tangan papa aku pegang erat. Aku mula berasa bersalah kerana pernah mengeluarkan ayat sebegitu.
“Papa. Lea kan dah kata takde apa-apa. Kita tak payahlah nak ungkit
pasal hal dulu-dulu. Okey?” aku cuba memujuk papa. Lagi pula kesihatan papa seminggu dua ni tidak terlalu memberansangkan. Menurut doktor, papa tidak boleh terlalu sedih ataupun berada dalam tertekan.
“Okey, Lea pun kena janji dengan papa. Papa tak nak Lea ingat-ingat lagi pasal kak Zira. Kita lupakan kisah lalu. Biarlah hanya kenangan Along dalam ingatan kita. Lea janji?” kali ini papa pula yang menuntut janji. Papa seperti tahu-tahu sahaja apa yang aku sedang lakukan kini. Aku mengeluh berat sebelum akhirnya aku mengangguk bersetuju.
Walaupun aku tahu janjiku dengan papa hanya akan tinggal janji namun aku tetap berjanji sekadar menyedapkan hati papa. Masakan aku boleh memaafkan kak Zira semudah itu.
_______________________________________
Aku melangkah ke pejabat dengan kerutan di dahi yang tak surut-surut. Aku hairan dengan situasi pagi ini. Semuanya kelihatan ceria, tidak seperti hari-hari yang sebelumnya. Walaupun pejabat ini sememangnya ceria sejak pertama kali aku melangkah di syarikat ini tapi hari ini aku rasakan suasana cerianya seperti agak berbeza. Seperti ada sesuatu yang gembira telah berlaku. Seperti mendapat durian runtuh.
Interkom ku tekan.
“Liza, masuk kejap. Aku nak bincang pasal kolum terbaru yang kau cadangkan hari tu.” Ujarku.
Tidak sampai lima minit, kelibat Liza mula muncul di hadapanku dengan senyuman yang sama dengan pekerja yang lain. Aku makin hairan.
“Kau ni kenapa Liza? Senyum-senyum macam kena sampuk ni.” Tebakku merapu. Liza pula makin galak ketawa membuatkan aku semakin seram berada berduaan dengannya dalam bilik ini. Aku pantas berdiri.
“Kau jangan macam-macam Liza. Aku ni penakut.” Rintihku sayu. Sungguh aku sedang takut kini. Aku terasa seperti pejabatku di serang zombie. Tetapi Liza seperti sengaja menakut-nakutkan aku lalu berlagak seperti zombie dan mula menghampiriku. Semakin kuat pula dia menghamburkan ketawanya.
Terasa diri di tipu, laju sahaja aku mendekatinya lalu di cubit-cubit lengannya. Dia menjerit kesakitan sambil menggosok lengannya.
“Le…a…” jerit Liza perlahan. aku berlagak biasa lalu kembali duduk. Liza turut melabuhkan punggungnya di kerusi.
“Kau ni. Sakit tau.” Marah Liza. Kali ini giliran aku pula menghamburkan ketawa. Liza mencebik namun ada rasa gembira yang menjengah. Argh, seronok rupanya memperkenakan orang ni.
“Padan muka kau. Suka sangat ek buat dajal kat aku, hah sekali kena
baru lah tahu.” Marahku manja.
“Ala… kau ni. Aku nak gembira sikit pun tak boleh.” Liza mula menarik muncung.
“Ye la. Liza, kenapa aku tengok semua orang gembira aje hari ni? Ada apa-apa ke?” soalku yang dari tadi ingin tahu.
“Apa tak gembiranya, Hasif dapat projek baik punya.” Bagitahu Liza.
“Projek apa?” soalku. Selama ini sudah banyak projek kami dapat tapi inilah kali pertama aku melihat pekerja-pekerja syarikat You And I (YNI) Production ini terlalu gembira.
YNI Production adalah sebuah syarikat penerbitan terbesar di Malaysia yang menerbitkan majalah PerfectExcel yang kini di kenali ramai dan berjaya mendapat tempat di hati pembaca. Majalah PerfectExcel ini adalah majalah yang merangkumi semua genre-hiburan, bisnes, cerpen, lawak dan sebagainya. Semuanya di gabungkan dalam satu majalah.
Apa yang istimewanya majalah ini adalah kerana kandungan isinya. Semua maklumat yang di lampirkan ke dalam majalah ini dipastikan sah dan mendapat kebenaran empunya cerita. Oleh itu, majalah ini tidak pernah terlibat dalam kes saman sepertimana majalah lain kerana memaparkan cerita yang hanya gossip semata-mata. Hal ini meyebabkan rasa bangga terhadap papa semakin menebal.
“Projek Kate.” Ujar Liza memuntahkan sebaris ayat yang ternyata tidak menjawab langsung pertanyaanku. Kerutan di dahiku semakin kelihatan.
“Ala, kau ni.. Maklumat mengenai kandungan Kate Middleton.”
“Eh, kejap! Majalah kita kan hanya menulis sekiranya cerita itu di sahkan benar. Dan apa maksud kau yang kita akan memasukkan entry mengenai Kate? Kau tak ingat ke kes jurarawat yang kena bunuh tu?” soalku gerun. Sesungguhnya itulah yang aku rasakan kini. Ketakutan. Aku mula sangsi dengan pujianku sebentar tadi.
“Ya lah. Sebab itu kita semua gembira kerana Kate yakin untuk bercerita kepada majalah kita. So, ini satu kebanggaan bagi kita.” Aku mengangguk apabila mula mendapat gambarannya. Aku mula lahir rasa hormat pada si dia yang berjaya mendapat berita yang begitu sensasi itu. Tak sangka syarikat penerbitan majalah di Malaysia di berikan penghormatan terlebih dahulu mengatasi majalah-majalah terkenal luar Negara. Unbelievable!
“Mana dia tu? Aku naklah jugak ucap tahniah.” Aku bersuara memecahkan angan-angan Liza yang aku sendiri tidak pasti. Asyik tersengih je memanjang.
Aku terlalu ingin mengenali lelaki itu. Lagipun tidak pernah ku tahu wujudnya pekerja papa yang bernama Hasif.
“Hasif tu jarang kat pejabat. Biasalah, pekerja yang papa kau paling sayang. Semua kerja yang menarik pasti jatuh kat tangan dia dulu. You know what, there are so many girls who admire him. Of course I am in the lists.” Ujar Liza dengan senyuman yang semakin menjadi-jadi gatalnya. Aku hanya mampu menggeleng.
Dalam hati, terbit sedikit rasa cemburu pada lelaki yang di kagumi ramai itu.
“Kalau hubungan aku dan papa masih seperti dulu, mungkin papa akan serahkan semua ni pada dia.” Ayat yang sedari tadi hanya berlegar di kepala ternyata mengalir lalu keluar melalui bicaraku. Liza pantas berpaling ke arahku. Dia tampak terkejut.
“Apa yang kau merepek ni Lea? Realiti ni tak sama dengan drama tv. Kalau drama bolehlah tunjuk yang si bapa ni sayangkan kuman seberang laut berbanding gajah di depan mata. Tapi ini realiti, seteruk mana pun anak dia, harta tetap untuk yang berhak.” Liza mula membebel. Seperti bertih jagung mulutnya berkta-kata. Itu baru satu ayat yang aku ucapkan, cuba kalau berpuluh-puluh ayat. Confirm dia membebel dua jam lamanya. Aku hanya mampu tersenyum nipis.
“Maksud kau… aku ni teruk?” sengaja aku membakar perasaan Liza. Jelas kelihatan asap berkepul-kepul yang keluar melalui telinganya.
“Kau ni kan, Lea. Aku cepuk kang.” Ayat Liza membuatkan aku gelak terbahak-bahak.
Gurauan mesra alam kami terganggu dengan ketukan di pintu. Dahiku berkerut hairan. Kening kiri di jongket sedikit. Bagai mengerti maksud yang di sampaikan, Liza membalas dengan jongketan kedua-dua bahunya.
Tanpa menunggu arahanku, Liza memulas tombol. Senyumannya terukir.
“Siapa?” soalku. Liza berpaling ke arahku.
“The one you want to see.” Jawab Liza lalu muncul kelibat seorang lelaki. Dia mendekatiku sambil wajahnya di iringi senyuman. Tangan di hulurkan kepadaku.
“I’m Hasif. Azril Hasif.” Mendengarkan suara garaunya membuatkan aku seperti terkena panah asmara.
Aku melemparkan senyuman nipis yang ternyata janggal. “Azalea Ayesha. Just call me Lea.”
Azril Hasif menggenggam tangan kanannya apabila hulurannya tidak ku sambut. Haih, lelaki ini seperti tidak nampak gaya penampilanku. Sepatutnya dari tudungku, di sudah dapat mengagak caraku. Namun, tidak sopan sekiranya aku hanya membiarkan tangannya di awangan terlalu lama.
“Maaf.” Ujarku perlahan memohon dia sedar sendiri.
“Oo, its okay. Saya yang sepatutnya minta maaf.” Kali ini dia melontarkan kata maaf. Aku sekadar mengangguk. Tanpa sedar, hatiku telah menanda ‘right’ pada kesopanan dan kesusilaannya. Oh, dia lulus satu daripada beberapa ciri lelaki idamanku.
“Oh, sorry. Have a seat, please. Liza, you too.” Ujarku gagap apabila terdiam terlalu lama. Liza telah mengukirkan senyuman berbahayanya.
“It’s okay, Lea. Aku buatkan coffee untuk korang. Anyway Encik Hasif, have a nice chat.” Azril Hasif hanya mengangguk mendengar gurauan berkasih dari Liza.
Azril Hasif mula mendapatkan posisi yang selesa. “Awak nampak macam terkejut. Bukan ke Encik Hakim dah beritahu yang saya akan masuk pejabat harini.” Soal Azril Hasif. Aku hanya berkerut.
“Ini kali pertama saya mendengar cerita fasal awak.” Jawapanku membuatkan dia hanya mengangguk dan kami sekali lagi terdiam. Oh, kaget sungguh apabila berdua-duaan sebegini. Apatah lagi dengan lelaki yang pertama kali ku jumpa.
Aku tak tahu apakah perasaaan yang melanda kini namun aku sedar inilah yang di namakan cinta. Tak sangka ketika umurku sudah mencapai angka 24 barulah hatiku di usik. Dan lelaki ini ternyata cinta pertamaku yang aku sendiri tidak menyangka ianya adalah cinta pandang pertama.

Read More ->>

Rabu, 26 Desember 2012

Download Ucweb Handler Terbaru Uc8.8 Hui209

ucweb handler terbaru
apa kabar sobat? Ucweb kembali meluncurkan versi terbarunya.Ucweb terbaru ini sudah sampai versi 8.8 yang tentu sudah semakin mantap, namun begitu saat saya mencoba menginstallnya di hp saya, ternyata ucweb ini sedikit berat kinerjanya di hp saya, tapi mungkin di hp sobat akan berjalan dengan baik, kalau saya sih lebih suka menggunakan Opmod handler sebagai teman saya mengarungi jagat maya ini, hehe.
Ucweb Handler Terbaru ini juga sudah menggunakan Handler Versi Terbaru, yakni hui209 dari dzebb,
Tertarik untuk mendownloadnya? Silahkan download di bawah ini:

Untuk yang berformat zip silahkan di ekstrak ya, jangan di rename.
Thanks to : Dzebb, Ykhandler nextwap
Read More ->>

download wallpaper flash swf untuk java

apa kabar sobat? Untuk kali ini saya akan membagikan sesuatu yang belum pernah saya bagikan. Itung-itung biar isi dari blog ini lebih variatif, tidak melulu trik gratisan dan aplikasi handler hehe. Kali ini yang akan saya bagikan adalah wallpaper flash swf, tapi kalau di symbian flash swf ini tidak bisa digunakan untuk wallpaper tapi hanya bisa diputar, sedangkan untuk ponsel java, mantap dibuat wallpaper. Sederhananya flash wallpaper ini adalah wallpaper animasi yang bisa bergerak, tapi lebih keren dari gambar animasi gif biasa.
Tertarik untuk mendownloadnya? Silahkan download secara gratis di bawah ini:
1. chicken
chicken.swf
download

2.star

star.swf
download

3. time sea
time sea
download

4.fish
fish swf
download

5.
aurora
aurora
download

6. galaxy
galaxy.swf
download

7.
nature
nature.swf
download

8. speedometer
speedometer
download

9. windows
windows.swf
download

10. angry bird
angry bird.swf
download
Read More ->>

Download X-plore v.3.05 apk, Aplikasi File Manager Android


 X-plore v.3.05 apk, aplikasi file manager android
 apa kabar sobat? Untuk para pengguna ponsel symbian file manager X-plore sudah pada tahu, bahkan menjadi kebutuhan hp berplatform symbian, symbian sekarang memang sudah terkikis seiring datangnya ponsel-ponsel semacam android, untuk sobat-sobat yang menggunakan handphone dengan OS Android,
Berikut adalah beberapa fiturnya:
  • Dual panel tree view
  • Root, FTP, SMB, Sqlite,Picasa,
    Zip, Rar explorer
  • Cloud storage access: Google
    Drive™, Dropbox, SugarSync,Boxnet, SkyDrive, Webdav,Yandex.disk
  • Favorite folders
  • Built-in viewers for images,video, audio, text
  • Hex viewer
  • Fast Image viewer with zoom and slide to previous/next images in folder
  • Thumbnails for images and
    video as well as for various file
    types (depending on associated
    application)
  • Multi-selection - always
    available, yet not disturbing
  • View APK files as ZIP
  • Share - send files by Bluetooth,email, or whatever the device supports, from any location
  • Configurable buttons and key
    shortcuts
  • Seamless work with Zip (as if it was normal folder)
Nah sobat, itulah beberapa fitur dari X-plore v.3.05 apk, aplikasi file manager android ini. Tertarik untuk mendownloadnya? Silahkan sobat download secara gratis di sini
Read More ->>

Senin, 24 Desember 2012

Cassandra Band


Cassandra dalam mitologi Yunani adalah sosok dewi yang sangat cantik, pendiam namun sangat di segani karena memiliki kemampuan yang luar biasa untuk melihat masa depan dan memiliki seorang ayah dewa perang bernama Troy. Karakter yang hampir sama di miliki oleh Anna (vocal), Inos (gitar), dan Choki (bass) sehingga mereka pun memilih nama Cassandra sebagai identitas band mereka.
Dalam berkarya Anna, Inos dan Choki adalah sosok – sosok yang tidak terlalu banyak bicara namun hasil karya yang mereka hasilkan sangat luar biasa sehingga memiliki potensi untuk menjadikan mereka sabagai band baru yang di segani suatu saat nanti di blantika musik Indonesia.
Cassandra terbentuk di Jakartapada tahun 2009dengan nama Aglo. Mengasah kemampuan dengan tampil di barbagai café – café terkemuka di Indonesia sebelum kemudian berubah nama menjadi Cassandra pada tahun 2010 seiring dengan perubahan visi dari para personilnya untuk merubah haluan dari band cafe menjadi band rekaman dengan bergabung bersama dengan label E-Motion Entertainment.
Karya pertama yang di suguhkan oleh Cassandra di blantika musik Indonesia berjudul Tetap Menjadi Milikmu (TMM), Sebuah lagu pop balada dengan beat dan tempo yang medium dengan notasi sederhana di balut oleh vokal Anna yang lembut sehingga terasa sangat nikmat dan ramah di telinga, membuat siapapun yang mendengar untuk pertama kalinya dapat turut bersenandung untuk menyanyikan lagu ini.
Tetap Menjadi Milikmu (TMM) diciptakan oleh Choki (bass) pada tahun 2007, beberapa tahun sebelum Cassandra terbentuk. Berkisah tentang cinta jarak jauh yang tetap dapat bejalan dengan baik berbekal kesetiaan yang sangat dalam karena sang pecinta telah menyerahkan hati untuk orang yang di cintainya.





download mp3:
Cassandra-Cinta Terbaik.mp3
Cassandra-Tetap Menjadi Milikmu.mp3


Read More ->>

Cerpen Cinta Romantis: AKU PASTI KEMBALI

Aku Pasti Kembali
Karya : putri ayu pasundan

Cerpen Cinta Romantis
Namaku jelita, aku sekolah di sma vanderwaald. Aku duduk di kelas 1 sma. Aku termasuk siswa yang pandai, dan juga mudah bergaul. Aku mempunyai seorang sahabat dia bernama putra. Putra adalah sosok sahabat yang baik, perhatian, dan selalu mengerti keadaanku, dilain waktu saat aku bersedih, dia yang selalu menghiburku. Suatu ketika dia memendam perasaan yang sama dan aku juga merasakannya.

“jelita..” panggil seseorang itu dari arah belakang. Dan itu sahabatku putra.

“iya put..? ada apa?’’ tanyaku.

“pulang sekolah , ikut aku ya.. aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”

“oke baik.”

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, putra langsung menghampiriku dia sudah berdiri tepat di ambang pintu kelasku. Dia memanggilku sambil tersenyum.

“jelita.. ayok kita berangkat.”

Putra tiba-tiba mengandeng tanganku , menuruni anak tangga, Dan segera menuju ke area parkir. Kelas kami berada di lantai 3 . Aku dan dia berbeda kelas . Sejak smp kita selalu bareng. Dan sampai SMA ini. Setelah kami tiba di area parkir, putra mengeluarkan motornya yang terparkir dekat pos satpam.

“ayok naik.” Putra mempersilahkan aku untuk naik ke motornya, dan kini kami berangkat meninggalkan area parkir. Juga sekolah.
“kita mau kemana?’’ tanyaku kepadanya.

“ke suatu tempat. Dan kamu pasti suka.” Setelah beberapa menit di perjalanan , kami pun sampai di tempat tujuan. Ternyata putra mengajakku ke sebuah taman bermain. Di taman tersebut . terpampang air mancur yang begitu indah, banyak sekali bunga-bunga yang berwarna warni. Kami berdua duduk di kursi dekat taman.

“jelita… “ panggil putra kepadaku, sorotan mata tajam nya yang takkan pernah ku lupakan sejak dulu . deg…. Jantungku berdebar-debar. Aku tak mengerti tentang perasaan ku padanya, sudah 5 tahun kami bersama.. saling melengkapi satu sama lain. Tapi, tak pernah aku mengerti hubunganku dengannya.. yang aku tau, aku dan dia bersahabat.

“putra, kok nangis?’’ tanyaku padanya. Putra meneteskan air matanya perlahan demi perlahan . ku apus air matanya yang membasahi kedua pipinya..

“aku gak nangis, aku Cuma bahagia aja punya sahabat kaya kamu.” Di usap rambutku dengan kelembutan tangannya. Putra memang sahabatku , dan juga kakak bagiku. karena itu aku tak mau kehilangannya.

“jelita, suatu saat nanti, aku gak bisa terus berada di sisi kamu, kamu harus bisa nantinya tanpa aku. Aku gak mau terus-terusan jadi benalu yang selalu ada di hidupmu. Kamu harus bisa jalani hidup , dan mungkin tanpa aku. ingat janji kita dulu. Kalo kita akan selalu bersama.”

“putra kok ngomongnya gitu, tanpa kamu hidup jelita ga mungkin seceria ini. Karna kamu, hidup jelita bahagia dan lebih berwarna. Kalaupun nantinya putra ninggalin jelita, jelita akan cari putra sampai kapanpun dan bakal nungguin putra sampai putra kembali. Entah beberapa lamanya”

“tapi, inget. Kalo putra gak ada di samping kamu lagi. Kamu janji harus selalu tersenyum.”

“iya, jelita janji… jelita akan selalu tersenyum untuk kamu.”

Hari sudah semakin berlarut. Meninggalkan semua kisah yang ada. Taman tersebut menjadi ikatan janji mereka.

***
Keesokan harinya di sekolah, tepat pukul 06:15 menit.

“jelita, ini ada surat untuk kamu.”dihampirinya jelita , Di kasihnya sepucuk surat itu untuknya yang terpampang besar siapa nama pengirim surat itu. yaitu “putra” .

Deg…… hati jelita tiba-tiba gelisah tak menentu. Tak mengerti apa yang sedang iya rasakan saat ini. Di bukanya isi surat itu perlahan.

“jelitaa… ini aku putra, maafin aku ya kemarin aku gak sempet berfikiran untuk ngomong ke kamu. Karna semua itu terlalu berat untukku. Aku gak sanggup ninggalin kamu disini. Mungkin, saat kamu baca surat ini aku sudah tiba di Kalimantan. Papaku dinas disana, dan terpaksa aku ikut dengannya. Maafin aku ya jelita. Inget janji kita. Kamu harus tetap tersenyum. Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi.“

Di akhirinya akhir surat itu. Jelita yang hanya bisa diam membisu dan pucat pasi di tempat duduknya. Perlahan iya menteskan air mata dan tidak percaya akan semuanya. Tak pernah iya mengerti akan semua perasaannya. Sedih, kecewa, semuanya yang iya alami saat ini. Tak sempat iya mengatakan tentang perasaannya yang sebenernya kepada putra. Cinta… mungkin ini yang aku rasakan. Perasaan itu tak pernah ku sadari sebelumnya, setelah kepergianmu baru aku menyadari.. cinta itu ada.

***
Setelah pulang sekolah, aku bergegas untuk pergi kerumah putra. Tetapi hasilnya nihil, tak ada satupun orang yang menjawab sapaanku. Rumah itu kosong. Jelita tak tau harus mencari putra kemana lagi. Akhirnya , aku memutuskan untuk pergi ke Taman kemarin, terakhir kali aku bertemu dengannya, bersamanya…. Taman itu sepi.. tak seperti biasanya, tak banyak orang yang lewat area taman bermain itu. dihampirinya kursi taman tempat aku duduk bersama putra waktu itu. Aku mengingat kembali perpisahan terakhirku dengannya. Aku meneteskan air mata.

***
Setelah 2 tahun aku menunggu, putra tak juga ada kabar. Selama itu aku tak pernah seceria dulu. Hanya kesedihan yang tampak di wajahku. Sesering kali aku mengingat kenangan itu, itu membuatku sakit. Sekalipun aku mencoba melupakannya, itu akan semakin sakit. Beberapa sering aku memutar lagu pasto’aku pasti kembali’ liriknya yang benar-benar menyentuh hatiku.

Reff : aku hanya pergi tuk sementara..
bukan tuk meninggalkanmu selamanya..
aku pasti kan kembali, pada dirimu ..
tapi kau jangan nakal.. aku pasti kembali…..

selama 2 tahun, kenangan itu menghantui harii-hari ku . tang sanggup aku melupakannya. Kini aku benar-benar mencintainya. Cinta bukan lagi sekedar sahabat , tetapi perasaan yang lebih dari pada itu.

hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 17 , sekarang aku sudah duduk di bangku kelas 3 sma, sekalipun aku ingin pindah ke lain hati dan berpaling dari putra, aku masih takut. Karena luka yang ada di hatiku masih ada. Setelah malam kian tiba, putra tak juga mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Padahal hanya sapaannya, dan ucapannya yang begitu berarti untukku..

hari ini sweet seventeen ku. Dan mungkin itu semua tak ada artinya kalau putra tak ada di sampingku. Malam ini aku ingin sekali pergi ke taman itu. untuk menenangkan diri disana, mungkin hanya beberapa saat. Aku akhirnya memutuskann untuk pergi kesana dan meninnggalkan acara dan tamu undangan yang telah hadir di pesta ulang tahunku yang ke 17 itu. aku pergi ke sana dengan di temani supir papaku dan setelah beberapa menit di perjalanan, aku tiba di taman itu. aku tak menyangka.. begitu indah suasana taman tersebut dengan lampu lampion-lampion yang khas terpampang disana. Dekorasi lampu-lampu kecil di setiap pohon yang mengelilingi menambah indah suasana taman itu. aku duduk di kursi putih taman itu. tiba-tiba beberapa saat aku memejamkan kedua mataku dan membukanya kembali aku melihat sesosok putra di depan mataku. Dia tampak berbeda dari dahulu, aku tak percaya kini dia ada di depan mataku, atau mungkin ini hanya ilusiku.

“happy birthday jelita.. aku nepatin janjiku kan , kita pasti bertemu kembali. Dan aku pasti kembali.”

“ini benar kamu?’’ tanyaku tak percaya.

“iya, ini aku. aku putra.”

“kemana aja kamu, kamu gatau aku disini sedih mikirin kamu, kamu gak ada kabar dan hilang gitu aja.”

“maafin aku, aku Cuma gak mau ganggu konsentrasi belajar kamu.”

Putra menghampiriku dan memberiku sekotak bingkisan tanda ucapan ulang tahunku. Dan ternyata itu adalah sebuah kalung yang berukiran tulisan nama kita berdua. Gaun cantik yang aku kenakan malam itu saat ulang tahunku berwarna putih, dan juga putra, membawa bunga mawar merah kesukaaanku dan ia mengenakan jas kemeja putih.

“aku janji gak akan ninggalin kamu lagi. Aku gak bisa tanpamu. Aku mencintaimu, aku sayang kamu jelita.” Kini dia menggutarakan isi hatinya, hanya itu kata yang aku tunggu selama ini dari mulutnya.

“akupun begitu. Ini adalah hari terindahku. Kamu kembali, untuk menjadi sahabatku, juga kekasih bagiku…..”

_The end_



Biodata penulis :
Putri ayu pasundan
Jakarta, 23 january 1997
FB : Puteri pasundan

Read More ->>

Cerpen Persahabatan: RINDUKU KENANGANKU

RINDUKU KENANGANKU
oleh: Rica Okta Yunarweti

               Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan aku gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
               Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran.
               “Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
               Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup.

* * *
Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut karena selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
               “Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu?
               “Aku mencarimu! Kata Diana
               “Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
               “Entahlah…. Sudah dulu ya, bau banget nih.
               “Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi…! Kesal Diana
               Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut lepas.

* * *
               Lintang segera membersihkan dirinya karena takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia merasakan sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang bingung dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari kursi tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat tidur dan beristirahat.

* * *
               Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam impian.
               “Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang
               “Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
               Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
               “Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
               “Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang kebingungan)
               Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
               “Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
               “Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
               “Aku sakit apa? Mana ayah?”
               “Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren.”
               “Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu..”
               “Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
               “Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
               “Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti.”
               “Iya, pasti. Suatu saat kita akn merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke sini. Bye !!”
               “Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"

* * *
               Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
               “Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
               “Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
               “Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
               “Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola ini..”
               “Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… aku hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
               “Thengs.. siapa namamu?”
               “Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
               Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah.
               (Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
               Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya.
               “Diana, kenapa kamu?”
               “Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
               “Kamu bohong, da masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini!”
               “Ii..ia bu.”
               “Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
               “Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
               “Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
               “Ibu mau menjenguknya? “
               “Iya,, nggak apa-apa kan?”
               “I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
               Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain.
               Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan. Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis biola itu.
               “Hai, belum pulang?" Sapa Diana
               “Hmmn. Belum Diana’
               “Ngapain kamu sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
               “Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
               “Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
               “Ohh, namamu Lizy ya?”
               “Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
               “Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
               “Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih..” ajak Lizy
               “Hhhhaha….” Sambung Diana

* * *
               Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
               “Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
               “Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan suara datar sambil menunduk.
               Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
               “Bagaimana bisa kamu di sini Zy?”
               “Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
               “Sebenarnya, kamu sakit apa sih?” sambung Diana
               “a..ku, sakit Leukimia..”
               Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang langsung terdiam ketika ia memainkan dasinya..
               “Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa”
               “Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
               “Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh.” Sambung bu Tari
               ( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
               “Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
               “Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
               “Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
               “walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
               Suasana berubah menjadi hening kembali..
               “Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
               “Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
               Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang.
               “Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
               “Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
               “ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
               “Cepat sembuh, ya”……

* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.

Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum. 
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku

               Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang. Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….

3 hari kemudian…

               Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya.
               Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya menandakan Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua tentang kita” sambil bernyanyi.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita

Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat duu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kitaberduka saat kita tertawa

               Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
               “Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu kamu, Lizy!”
               “Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan, aku melihat seorang gadis sedang melukis.”
               “waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya..”
               “Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
               “Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
               Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk di tikar.
               “Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
               “Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
               “Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita.” Sebel Diana
               “Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama cowok popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
               “Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
               “Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
               “Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
               “hhuuhh…”
               Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.

* * *
               Waktu yang tepat ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
               Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya.
               Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus membeli semua obat yang diperlukan.

* * *
               Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang.
               “Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari Deva)
               “Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
               “Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
               Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
               Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang tua Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap mereka sebagai anaknya.

* * *

“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_

Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa mereka nyanyikan.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati

Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang tua Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca puisi.

Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan seperti sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri

               “Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker karena fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya.
               “Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
               Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
               “Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akhirnya selesai”
               “Waahh..keren.!”
               Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya sekedar untuk mengenang Lintang.

SELESAI



Karya : Rica Okta Yunarweti
Alamat Fb : Richa Oktaa
e-mail : icaotana@yahoo.co.id

Read More ->>

Cerpen Romantis Sedih - Gabriel: Mencintaimu Cukup Bagiku

Gabriel: Mencintaimu Cukup Bagiku
Cerpen Romantis Sedih
oleh Nurul A. Erviningrum
Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.

Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.

“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.

Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.

Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!

Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.
***


“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.

“iya..” jawabnya.

Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia. Ia tertinggal satu langkah dariku.

“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.


Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.


“ ayo vi!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.


“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.

“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“sakit yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.

“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.

“iel?.” Ucapnya.

“Alvin?.” Ucapku.

“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.

“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.

Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan vi?.” Tanya ku

Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.

“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.

“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.

“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.

“makasih ya.” Tambah sivia.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang kemarin.

Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...

“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.

Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Sivia?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.

“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.

Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***

“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening sivia mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Sivia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”

“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’

Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu

END..

Read More ->>